Minggu, 23 Oktober 2016

KEPUSTAKAWANAN YANG ADA DI INDONESIA

KEPUSTAKAWANAN YANG ADA DI INDONESIA

Description: C:\Users\admin\Pictures\uin 2.jpg

Disusun Oleh :
Mifta Hussa’adah  (13422065)


Dosen Pembimbing:
Nirmala, Dra

JURUSAN ILMU PERPUSTAKAAN
FAKULTAS ADAB DAN BUDAYA ISLAM
 UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH PALEMBANG 
TAHUN 2015



PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Perpustakaan merupakan pusat pengelola informasi dan memberikan layanan informasi, pemanfaatan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar dengan memberikan kebebasan akses informasi. Siapa saja dapat mengakses informasi yang tersedia di perpustakaan. Memperoleh kesempatan akses informasi merupakan hal yang sangat penting. Akses informasi memungkinkan seseorang untuk menambah ilmu pengetahuan, memperkaya wawasan dan memperoleh nilai tambah untuk mengembangkan pola kehidupan.
Inilah fungsi perpustakaan yang dapat digunakan untuk menjadikan rakyat Indonesia menjadi individu yang berpengatahuan dan mempunyai wawasan yang luas agar mampu meningkatkan kemakmuran, dan mengembangkan pola kehidupan, namun banyak hal yang menjadikan perpustakaan serta kepustakwanan di Indonesia menjadi mandek atau jalan ditempat, ini dikarenakan adanya berbagai faktor pengahambat maju dan berkembangnya kepustakawanan di Indonesia, agar mengetahui lebih dalam mengenai hal tersebut dapat diketahui dengan membaca materi yang akan disampaikan didalam makalah ini.
B.                 Rumusan Masalah
Bagaimanakah Kepustakawanan, Perpustakaan dan Pelayanan Informasi di Negara Indonesia?

C.                Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini yaitu untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kepustakawanan serta segala sesuatu yang berkaitan dengan permasalahannya yang terjadi di negara Indonesia, juga memnuhi tugas dari dosen yang bersangkutan.

PEMBAHASAN

A.                Pengertian kepustakawanan
Kepustakawanan merupakan semangat dan praktik (penghayatan) dalam melaksanakan tugas perpustakaan yang berdasar pada teori yang ada dalam ilmu perpustakaan. Kepustakawanan dalam pernyataan ini dimaksudkan sebagai kepustakawanan Indonesia.[1]
B.                 Pengertian perpustakaan
 Perpustakaan merupakan pusat pengelola informasi dan memberikan layanan informasi. Sebagai pengelola dan pelayanan informasi tentunya keberadaan perpustakaan mutlak dibutuhkan.
Adapun menurut UU No. 43 Tahun 2007 Perpustakaan merupakan Institusi pengelola karya tulis karya cetak dan atau karya rekam secara profesional dan dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian informasi dan rekreasi para pemustaka.
Adapun peranan yang dapat dijalankan oleh perpustakaan adalah antara lain:
1.      Secara umum perpustakaan merupakan sumber informasi
2.      Perpustakaan merupakan media atau jembatan
3.      Perpustakaan mempunyai peranan sebagai sarana untuk menjalin dan mengembangkan komunikasi antara sesama pemakai, dan antara penyelenggara perpustakaan dengan masyarakat yang dilayani
4.      Perpustakaan dapat pula berperan sebagai lembaga untuk mengembangkan minat baca
5.      Perpustakaan dapat berperan aktif sebagai fasilitator, mediator, dan motivator bagi mereka yang ingin mencari, memanfaatkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya
6.      Perpustakaan merupakan agen perubahan, agen pembangunan, dan agen kebudayaan umat manusia, sebab berbagai penemuan, sejarah, pemikiran, dan ilmu pengetahuan yang telah ditemukan pada masa lalu, yang direkam dalam bentuk tulisan atau bentuk tertentu yang disimpan di perpustakaan
7.      Perpustakaan berperan sebagai lembaga pendidikan nonformal bagi anggota masyarakat dan pengunjung perpustakaan
8.      Petugas perpustakaan dapat berperan sebagai pembimbing dan memberikan konsultasi kepada pemakai atau melakukan pendidikan pemakai (user education), pembinaan serta menanamkan pemahaman tentang perpustakaan bagi orang banyak.
9.      Perpustakaan berperan dalam menghimpun dan melestarikan koleksi bahan pustaka agar tetap dalam keadaan baik semua hasil karya umat manusia yang tak ternilai harganya
10.  Perpustakaan dapat berperan sebagai ukuran (barometer) atas kemajuan masyarakat dilihat dari intensitas kunjungan dan pemakaian perpustakaan. Secara tidak langsung, perpustakaan yang berfungsi dan telah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, dapat ikut berperan dalam mengurangi dan mencegah kenakalan remaja seperti tawuran, penyalahgunaan obat-obat terlarang, dan tindak indisipliner (sutarmons, 2006) [2]
C.                Pelayanan informasi
          Menurut Nasution (1990: 139), perpustakaan adalah pelayanan. Pelayanan berarti kesibukan. Bahan-bahan pustaka harus sewaktu-waktu tersedia bagi mereka yang memerlukannya. Jelas bahwa tidak ada perpustakaan jika tidak ada pelayanan, karena perpustakaan sebenarnya identik dengan pelayanan. Perpustakaan didirikan tidak hanya sekedar untuk mengumpulkan, menyiapakan dan meminjamkan buku-buku dan bahan-bahan pustaka, akan tetapi harus memberikan pelayanan yang sifatnya lebih luas dan lebih aktif lagi. Pelayanan yang lebih luas dan aktif maksudnya pelayanan-pelayanan tersebut harus membutuhkan pengetahuan para pustakawan yang lebih luas, adanya keterampilan dan keahlian dalam memepergunakan bahan-bahan atau alat-alat yang ada dalam perpustakaan. Fungsi layanan perpustakaan tidak boleh menyimpang dari tujuan perpustakaan itu sendiri. Perpustakaan harus dapat memberikan informasi kepada pembaca, memberikan kesempatan kepada pembaca untuk mengadakan penelitian, yaitu fungsi informasi. Fungsi layanan perpustakaan juga mempertemukan pembaca dengan bahan  pustaka yang mereka perlukan.
Tujuan perpustakaan yaitu melayani pembaca memperoleh bahan pustaka yang diperlukan  serta memberikan pelayanan kepada para pembaca  agar bahan pustaka yang telah dikumpulkan dan diolah sebaik-baiknya dapat sampai ke tangan pembaca. Bahan-bahan pustaka yang dikumpulkan itu terutama dimaksudkan agar dapat dipakai oleh pembaca
Penerapan suatu sistem layanan di perpustakaan adalah dimaksudkan agar proses pemberian jasa layanan dapat berlangsung tertib, teratur dan cepat tanpa ada hambatan. Sistem layanan perpustakaan merupakan mata rantai rangkaian kegiatan yang terdiri dari atas beberapa unsur saling berhubungan satu sama lain. Masing-masing perpustakaan akan memilih sistem yang paling cocok dengan pemakainya dan kesiapan petugas dan ketersedian sarana dan prasarana. Layanan yang dapat dikembangkan oleh perpustakaan adalah agar tercipta layanan terbaik sejauh dapat dilaksanakan, yaitu sering disebut layanan prima yang dilaksanakan secara profesional (sutarno, 120).




D.                Kepustakawanan, Perpustakaan dan Pelayanan Informasi di Negara Indonesia
Perkembangan dunia kepustakawanan sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang pusat. Dunia kepustakawana yang dahulu manual dan bersifat konvesional, saat ini dengan peralatan komputer dan perangkat lunak yang canggih, pekerjaan perpustakaan menjadi automotis, inovatif, dan modern. Pada umumnya, banyak literatur tentang kepustakawanan menyebutkan bahwa perubahan sifat pekerjaan rutin perpustakaan adalah dari mekanis ke organis. Sifat organis yang dimaksud dalam konteks kepustakawanan  ini adalah bahwa pekerjaan perpustakaan lebih fleksibel dan berorientasi kepada pengguna. Istilah tidak digunakan, dan sebgai gantinya digunakan istilah humanis, sebab hakikat perpustakaan adalah melayani masyarakat. Konsep melayani itu sendiri tidak hanya mencaridan meyediakan informasi yang dibutuhkan pengguna,  namun juga melibatkan kognisi, emosi, dan proses interaksi.
Seperti yang diuraikan oleh Steinerova, perkembangan fisik yang meliputi pengorganisasian koleksi dan teknologi lebih maju daripada perkembangan manusia . Mitos tentang perpustakaan yang hingga kini masih ada adalah bahwa perpustakaan adalah gudang buku, dan pustakawannya disebut sebagai penjaga gudang, yang pekerjaannya membuat klasifikasi, melabel punggung buku, menyusunnya di rak, dan biasanya diperankan oleh sosok wanita tua, kutu buku berkaca mata tebal, dan pengguna tidak boleh berisik didalam ruang perpustakaan.
Dengan munculnya teknologi informasi dan komunikasi yang serba canggih pada abad ini, muncul mitos baru yaitu perpustakaan digital. Kita membaca e-book kapan dan dimana saja, dan gedung perpustakaan bukan lagi gudang tempat penyimpanan buku, sebab semua koleksi akan disimpan di dalam komputer. Komputer dengan fasilitas internet akan menggantikan perpustakaan konvensional.
Di Indonesia, terlihat bahwa perubahan perpustakaan dari konvensional menjadi inovatif hanya terjadi pada tataran fisik, seperti gudang dan sarana perpustakaan; atau pengolahan secara manual menjadi terotomasi; jika dulu sumber informasi adalah buku dan majalah, sekarang tersedia buku dan jurnal elektronik, CD-ROM, dan jenis elektronik lainnya. Pekerjaan pustakawan yang dimulai dari mengolah koleksi hingga memberikan layanan kepada pengguna perpustakaan, dilakukan secara otomatis, sesuai dengan alur yang sudah ditentukan.
Apabila kita perhatikan memang ada korelasi antara buku dan perpustakaan. Antara buku dan perpustakaan terdapat kaitan yang sangat erat, baik secara etimologis, historis, maupun fungsional. Perpustakaan bermula dari adanya koleksi buku. Secara etimologis kata perpustakaan berasal dari kata “pustaka” yang berarti naskah atau buku. Kata bahasa Belanda bibliotheek, tidak lepas pula dari kata Yunani biblos yang berarti buku. Begitu pula kata library (Inggris), berpangkal ada kata liber (Latin) yang berarti buku. Memang buku merupakan komponen utama dalam sebuah perpustakaan.
Oleh karenanya, antara perkembangan perbukuan dan perkembangan perpustakaan dalam kehidupan suatu bangsa terdapat hubungan yang sejajar, makin maju perbukuannya makin maju pula perpustakaannya. Meskipun perpustakaan modern banyak yang sudah mempergunakan hasil-hasil media elektronik sebagai sarana informasi dan atau merupakan rekaman memori manusia, namun buku masih merupakan komponen yang dominan dalam koleksi perustakaan.
Perpustakaan dewasa ini berkembang menjadi sebuah lembaga yang dikembangkan berdasarkan ilmu yang mandiri dan mengemban fungsi utama sebagai pusat penyimpanan memori (informasi) dan penyaji informasi, terutama informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Dengan demikian, perpustakaan merupakan suatu institusi yang sangat berdaya guna bagi usaha pengembangan ilmu pengetahuan peningkatan kualitas dan martabat sumber daya manusia serta bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan nasional dalam rangka kebangkitan bangsa dan bernegara.[3]
E.                Perpustakaan sebagai Sarana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Kepustakawanan memang berintikan sebuah profesi, yaitu pustakawan. Profesi ini memegang teguh nilai-nilai tentang kualitas, kehormatan, dan
kebersamaan. Pustakawan bekerja berdasarkan etos kemanusiaan sebagai lawan dari kegiatan pertukangan semata. Pustakawan adalah fasilitator kelancaran arus informasi dan pelindung hak asasi manusia dalam akses ke informasi.
Pustakawan memperlancar proses transformasi dari informasi dan pengetahuan menjadi kecerdasan sosial atau social intelligence. Tanpa kepustakawanan, sebuah bangsa kehilangan potensi untuk secara bersama-sama menjadi cerdas, berpengetahuan, dan bermartabat.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia tak ingin terpuruk dan tercekik krisis yang seakan tak ada hentinya. Indonesia memerlukan Kepustakawanan agar dapat bersama-sama menjadi cerdas, berpengetahuan, dan bermartabat. Untuk membangun Kepustakawanan Indonesia diperlukan kesungguhan menghadapi 15 pokok perhatian yang terkelompok menjadi empat isu besar, yaitu:
1.      Profesionalisme pustakawan.
2.      Akuntabilitas dan kredibilitas.
3.      Pendanaan dan
4.      Standardisasi Landasan ilmu dan pemanfaatan teknologi informasi.

1.                  Profesionalisme                                                                                 Undang-Undang Perpustakaan menyatakan bahwa institusi perpustakaan dipimpin oleh seorang ahli yang berlatar belakang pendidikan ilmu perpustakaan. Ketentuan ini harus ditegakkan dengan memastikan bahwa Kepala Perpustakaan di semua jenis perpustakaan memang dijabat oleh orang yang tepat dan cocok.
Tantangan dan persoalannya:
1.      Di jajaran seluruh jajaran pemerintahan terjadi pola penempatan
Kepala Perpustakaan secara serampangan tanpa memedulikan asas ketepatan dan kecocokan. Pola ini meluas di seluruh Indonesia dan seringkali dilakukan secara sengaja.
2.      Di kalangan swasta terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman
tentang fungsi Kepala Perpustakaan. Banyak Kepala Perpustakaan yang tidak dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara profesional dan tidak diapresiasi secara wajar.
3.      Di sekolah-sekolah belum terdapat kejelasan tentang fungsi dan
tugas ‘guru-pustakawan’ atau ‘pustakawan-guru’. Perpustakaan di
sekolah-sekolah sering dijalankan tanpa manajemen yang memadai antara lain karena dipimpin oleh orang yang tidak mampu, tidak tepat, dan tidak cocok sebagai Kepala Perpustakaan.
Ketiga persoalan nyata di lapangan tersebut ditengarai sebagai wujud dari
persoalan yang lebih mendasar yaitu kekurangtahuan dan ketidakpedulian
tentang profesi pustakawan. Kedua hal negatif ini harus dihilangkan. Tanpa
apresiasi yang benar dan memadai tentang pustakawan maka perpustakaan-perpustakaan di Indonesia akan berjalan secara serampangan, sporadis, dan tumpang-tindih; mengurangi potensi institusi ini yang secara bersama-sama dapat bertindak sebagai pondasi bagi bangsa yang maju dan berkepribadian di bidang pengetahuan dan informasi.

2.                  Akuntabilitas dan Kredibilitas
Mengingat hakikat dasar perpustakaan sebagai institusi yang berupaya membuka akses pengetahuan dan informasi seluas-luasnya bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat di Indonesia, maka adalah wajar bahwa perpustakaan-perpustakaan yang terbuka untuk umum harus semakin banyak tersedia di Indonesia. Sesuai yang diamanatkan Undang-Undang, untuk mewujudkan keberadaan perpustakaan-perpustakaan seperti itu diperlukan dukungan penuh dari Pemerintah, selain juga partisipasi dari masyarakat yang seluas mungkin. Tantangan dan persoalannya:
1.      Selama berpuluh-puluh tahun, tidak ada koordinasi dan visi-misi
yang jelas dalam pelaksanaan perpustakaan di Indonesia. Potensi
kepustakawanan Indonesia musnah oleh diskoordinasi, proyek-proyek pemerintah yang sporadis, perencanaan yang amburadul, dan ketiadaan kepemimpinan (leaderships). Keadaan ini bertambah parah ketika tidak ada kejelasan tentang fungsi-fungsi institusi informasi seperti arsip, perpustakaan dan dokumentasi.
2.      Hal serupa terjadi pada upaya masyarakat umum untuk membantu
pengembangan kepustakawanan. Banyak niat-baik anggota masyarakat untuk ikut membangun kepustakawanan terhambat, baik oleh ketidaktahuan maupun oleh kesalahpahaman. Lebih menguwatirkan lagi, banyak niat-baik ini akhirnya tak mencapai tujuannya karena disalahgunakan untuk kepentingan popularitas sesaat, atau untuk menghabiskan dana pemerintah yang tidak diawasi oleh sebab-sebab yang sudah diurai di butir 4 di atas.
3.      Diskoordinasi yang sudah amat parah dan ketiadaan fokus menyebabkan
kepustakawanan di Indonesia kehilangan kredibilitas. Perpustakaan sering
hanya dianggap gedung atau ruangan seadanya, dan dikelola secara amatiran tanpa kesinambungan. Akibatnya, perpustakaan-perpustakaan Indonesia tak dekat dengan masyarakatnya dan diabaikan pula.
4.      Sudah terlalu banyak ‘gerakan’ yang dilakukan untuk mempromosikan
kepustakawanan, namun semua gerakan ini tidak tepat sasaran oleh sebab-sebab yang sudah diuraikan di atas atau dikooptasi untuk kepentingan pribadi. Ini menambah buruk citra dan menurunkan kredibilitas kepustakawanan Indonesia di mata masyarakatnya.

3.                  Pendanaan dan Standardisasi
Sesungguhnya, berkat tekad yang bulat untuk memajukan pendidikan, bangsa Indonesia telah berkehendak menyediakan dana untuk keperluan pendidikan. Sudah sewajarnya kehendak ini juga tersalurkan dan terwujudkan dalam bentuk pengembangan perpustakaan, khususnya di sekolah dan perguruan tinggi, namun juga di masyarakat luas dalam bentuk perpustakaan untuk umum yang menunjang pendidikan seumur hidup. Tantangan dan persoalannya:
1.      Oleh sebab-sebab yang sudah diuraikan di butir 4 sampai 7, telah
terjadi dua hal yang amat merugikan bangsa Indonesia. Pertama, perpustakaan tak mendapat dana yang memadai oleh anggapan keliru bahwa institusi ini bukan termasuk pilar pendidikan. Kedua, dana yang ada pun tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya sebab memang tidak dikelola dengan profesional dan akuntabel. Kedua hal ini harus dihentikan, khususnya ketika bangsa ini sudah bertekad menyediakan 20% anggaran pembangunan untuk pendidikan. Perlu ditegaskan secara lebih tersurat alokasi yang cukup dari anggaran pembangunan pendidikan.
2.      Sebagai kegiatan yang bersifat nasional dan meluas, kepustakawanan
sesungguhnya memerlukan standar yang jelas dan terukur. Indonesia
ketinggalan amat jauh dibandingkan negara-negara lain. Banyak sekali -kalau
tidak dapat dikatakan hampir semua kegiatan perpustakaan, baik yang
dilakukan pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum dan perorangan,
diselenggarakan tanpa standar. Kalaupun ada standar, pada umumnya standar itu dibuat untuk keperluan birokrasi dan administrasi yang kurang
memperhatikan hakikat perpustakaan sebagai institusi sosial-budaya
masyarakatnya.
3.      Pengawasan mutu dan pembelajaan dana di bidang perpustakaan sangat
kurang, kalau tak dapat dikatakan tiada sama sekali. Celah penyalahgunaan dana amatlah besar, baik oleh kesengajaan maupun oleh mismanagement. Secara lebih spesifik, tak ada mekanisme dan prosedur untuk mengaitkan dana perpustakaan dan mutu yang dapat dirasakan oleh masyarakatnya. Dibandingkan negara-negara lain, kepustakawanan Indonesia amat tertinggal dalam hal penjaminan mutu.



4.                  Landasan Ilmu Dan Pemanfaatan Teknologi Informasi
Indonesia boleh bangga sebab pendidikan bagi profesi pustakawan sudah hadir sejak 1954, pada masa awal kemerdekaan. Kenyataan historis ini menunjukkan penghargaan bangsa pada pentingnya profesi pustakawan untuk kemajuan pengetahuan. Sekarang, tak kurang dari 13 perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan di bidang perpustakaan baik di tingkat diploma, sarjana, maupun magister. Namun aset yang amat besar ini terancam tak terwujud menjadi modal karena persoalan-persoalan berikut:
1.      Para penyelenggara pendidikan kehilangan orientasi ilmu dan terpaku
pada pengajaran hal-hal teknis. Ini ikut menyumbang pada kesalahpahaman di masyarakat tentang profesi pustakawan dan menjadi salah satu penyebab utama mengapa citra pustakawan di Indonesia sangat dilecehkan sebagai ‘tukang’ semata. Dibandingkan negara-negara lain, pendidikan Indonesia sangat kurang menghargai filsafat, ilmu, dan metodologi perpustakaan yang sudah teruji. Para penyelenggara dan pengajar jurusan ilmu perpustakaan terlalu berorientasi teknis.
2.      Salah satu sebab dari orientasi yang terlalu teknis itu adalah
ketiadaan pengakuan terhadap keabsahan Ilmu Perpustakaan yang saat ini didunia bahkan sudah berkembang menjadi Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Di kalangan akademisi maupun penyelenggara perguruan tinggi dan penyelenggara pemerintahan di bidang ini, pemahaman dan apresiasi tentang Ilmu Perpustakaan dan Informasi amat kurang. Selalu ada hambatan untuk mengembangkan ilmu ini, antara lain karena semua pihak menganggapnya ‘bukan ilmu’.
3.      Penguasaan Ilmu Perpustakaan dan Informasi sebagai lawan dari
penguasaan keahlian teknis semata diyakini dapat menjamin implementasi teknologi yang baik, benar, dan tepat guna guna membangun masyarakat informasi dan masyarakat berbasis pengetahuan. Pelecehan terhadap Ilmu Perpustakaan dan Informasi, baik oleh akademisi, penyelenggara pendidikan, maupun pemerintah, menyebabkan ketertinggalan kita dalam memanfaatkan teknologi informasi di bidang perpustakaan.
4.      Penguasaan Ilmu Perpustakaan dan Informasi diyakini dapat pula menjadi penyeimbang bagi dominasi penggunaan teknologi informasi sebagai alat industri dan bisnis belaka. Melalui pemahaman tentang filsafat, ilmu, dan metodologi yang benar, maka profesi pustakawan dapat menjadi fasilitator bagi pemanfaatan teknologi informasi untuk kepentingan Indonesia yang cerdas, berpengetahuan, dan bermartabat. Pelecehan terhadap Ilmu Perpustakaan dan Informasi menyebabkan pustakawan kurang berperan dalam hal ini dan akhirnya semata-mata menjadi konsumen dari alat-alat teknologi. Pada gilirannya, pustakawan juga tak dapat membantu masyarakat memanfaatkan teknologi informasi bagi kepentingan mereka.
5.      Untuk mewujudkan potensi pendidikan yang menghasilkan profesionalisme di bidang perpustakaan amatlah penting menyelaraskan kurikulum semua penyelenggara pendidikan di bidang ini. Bersamaan dengan itu, penyelenggara pendidikan juga harus memperhatikan kondisi dan kebutuhan sesungguhnya dengan masyarakat Indonesia, termasuk dalam menyediakan kekhususan ilmu untuk profesi-profesi spesifik.[4]

Berdasarkan penjelasan diatas kita dapat menarik benang merahnya bahwa di dalam memajukan dan mengembangkan kepustakawanan di Indonesia harus adanya peran aktif dari semua pihak agar dapat berjalannya sistem yang sebenarnya sudah baik, namun di dalam perealisasiannya yang belum maksimal.
Peran aktif dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, masyarakat dan orang-orang yang sudah ahli di alam bidang perpustakaan akan membantu berjalannya sistem serta aturan yang sudah ditetapkan, sehingga dapat tercapainya apa yang di inginkan oleh seluruh rakyat Indonesia, dengan menjadikan perpustakaan tolok ukur bagi kemajuan suatu bangsa karena apabila pusat informasi ini dapat memaksimalkan kinerjanya dalam mencerdaskan bangsa maka akan tercapai negara Indonesia yang cerdas, berpengetahuan, dan bermartabat.


PENUTUP

A.                Simpulan
Berdasarkan pemaparan materi makalah diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kepustakawanan yang ada di Indonesia masih dikatakan memprihatinkan, karena kurang berjalannya sistem yang harusnya dapat direalisasikan namun karena berbagai faktor yang menghambat menjadikan negara kita masih dikatakan cukup tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk memecahkan permasalahan kepustakawanan di Indonesia, bukan hanya pemerintah yang harus berperan aktif di dalam mengembangkan dan memajukan kepustakawanan yang ada di ada di Indonsesia, melainkan semua pihak yang dapat meberikan sumbangsinya bagi negara ini agar tercapai Indonesia yang cerdas, bermartabat dan sejahtera di mata dunia.

B.                 Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki, di dalama makalah ini. Maka dari itu kami mengarapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif agar dalam pembuatan karya ilmiah selanjutnya dapat lebih baik lagi.





DAFTAR PUSTAKA



Sudarsono Blasius. 2006. Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta:Ikatan Pustakawan Indonesia,
Herlina. 2004.  Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan. Palembang: Noer Fikri Offset.
Lasa Hs (Editor). 2008.  Perpustakaan  dan Kebangkitan Bangsa. Yogyakarta:LPPI.



[1] Blasius Sudarsono, 2006, antologi kepustakawanan indonesia, Jakarta:ikatan pustakawan indonesia, hal (115).
[2]Herlina, 2004,  pembinaan dan pengembangan perpustakaan,  Palembang: Noer Fikri Offset, hal (1-2).
[3] Lasa Hs (Editor), 2008,  Perpustakaan  dan Kebangkitan Bangsa,  Yogyakarta:LPPI. hal (35-36).

1 komentar:

  1. Terima kasih atas informasinya
    Artikel yang disajikan telah menerangkankan dengan baik
    Semoga bermanfaat bagi pembaca website ini
    print A0 A1 A2

    BalasHapus